Finalis 20: #BeraniLebih Banyak Berkontribusi

TANPA SAYA SADARI, kini saya bukan anak-anak lagi. Dulu, dimensi hidup saya adalah dimensi mini yang menyenangkan antara saya dan teman-teman yang saat itu masih kanak-kanak. Namun, kini kehidupan telah berbeda. Saya adalah seorang dewasa yang kini berusia mencapai kepala dua.
Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa suatu saat nanti saya akan tinggal di masyarakat, menjadi bagian dari mareka. Makin bertambahnya usia mungkin bisa saya terima. Namun mengemban tanggung jawab, saya sungguh tidak mengira…
Sampai suatu ketika, Philip, salah seorang teman di Afrika mengirimkan sebuah email. Dia bercerita tentang kehidupannya di Liberia seraya menunjukkan foto-foto kegiatannya. “Taukah, ada banyak sekali anak-anak yang membutuhkan bantuan di sana, pendidikan, kesehatan, hingga makanan”, ungkapnya.
Hari itu saya belajar satu hal: setiap kehidupan di penjuru dunia tidaklah sama. Ada kelebihan, ada kekurangan. Ada yang membutuhkan pertolongan seperti anak-anak di Liberia…
1545804_786648028017434_1432440143_n
Membayangkan kehidupan anak-anak di Liberia mungkin saya tidak sanggup. Bagi saya, ini terlalu nyata. Bukan lagi seperti yang ada di film-film Hollywood ataupun tipuan belaka. Faktanya, ada ratusan anak yang memerlukan bantuan yang tak sekedar pendidikan dan kesehatan lagi, namun juga keberlangsungan hidup mereka.
Membayangkan kehidupan di Liberia mambuat saya berpikir tentang kehidupan di sekitar saya. Kehidupan di sekitar saya juga tak ubahnya seperti di Liberia, berbeda-beda. Ada yang serba tercukupi, namun ada yang kurang sekali. Seperti halnya kehidupan anak-anak di perdesaan yang saya temui beberapa waktu yang lalu.
img_4404
Anak-anak dusun Gerjo sedang membuat maket bunga
Ini adalah foto-foto kegiatan yang saya ambil di pedesaan. Rupanya tak perlu jauh ke Liberia, di sekitar kita masih banyak permasalahan sosial seperti anak-anak yang putus sekolah, menjadi pekerja sebelum waktunya, hingga menikah muda. Mungkin memang tidak separah di Liberia, namun masih banyak di antara mereka yang membutuhkan uluran tangan.
Mendadak muncul pertanyaan besar di dalam hidup saya, “Apa yang sudah saya lakukan untuk sesama?”. Sementara ada banyak orang yang membutuhkan perubahan, saya di sini justru hanya berpangku tangan.
The abnormal world will only be solved by abnormal man. Pertanyaan besar ini mendorong saya untuk bergerak. Tahun 2013 lalu, saya dan Program Pemberdayaan Masyarakat Mahasiswa berhasil menyelenggarakan community development di desa. Di tahun pertama tersebut, kami berupaya menjawab masalah-masalah seperti kurangnya fasilitas beribadah, sarana kegiatan komunitas remaja dan pendidikan.
Meskipun demikian, saya tahu, apa yang saya lakukan belumlah menyelesaikan masalah-masalah sosial yang dihadapi mayoritas anak di desa. Mereka masih memerlukan bimbingan untuk bisa lebih mandiri dan mampu berdiri di kaki sendiri.
Namun bukan berarti saya putus asa sampai di sini, karena saya #BeraniLebih banyak berkontribusi. Tahun 2014 adalah tahun kedua saya turun ke desa. Tahun ini mudah-mudahan akan jadi yang ketiga kalinya.
Saya tahu membangun komunitas mungkin tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan pejuang sejati jika takut menghadapi tantangan. Problem is a chellenge! Karena saya #BeraniLebih banyak berkontribusi!
Facebook: Amtina Fathul Latifah 
Twitter: @tinalatief

Comments

  1. Dalam melakukan perubahan, memulai meski skala kecil jauh lebih bermakna n berarti, daripada bicara dan bicara. Apalagi bekerja dengan hati untuk kelompok rentan, marjinal, bahkan tereksklusi.

    ReplyDelete

Post a Comment