Finalis 4: #BeraniLebih Semangat Menjadi Turis dan Kurir di Schipol Belanda

Belanda, 2 Februari 2013 pukul 01.00 pm waktu setempat. Sci..p..hol.. international airport, aku mengeja tulisan merah di pojok ruang tunggu dengan sepotong hotdog panas. Aku tiba di negeri kincir angin itu dengan koper kecil dan beberapa sweater milik nenek yang sudah koyak di bagian ketiaknya.

Can I help you?” tanya seorang pria berseragam security.
Ya, I wanna go to this address,” jawabku sumringah sambil menunjukkan alamat.
You have to board a train for 6 hours and find this address by taxi. Hmm, you can use this app..,“ pria tersebut menyodorkan ponselnya yang bertuliskan Nederlandse Spoorwegen (NS Sprinter). Aplikasi berbasis android yang dikelola salah satu perusahaan kereta untuk menghubungkan semua wilayah di Belanda.
Thankyou, Mr…hmm…
I’m Coenen, nice to help you,” pria itu tersenyum sambil berjalan ke arah luar.
Sembari menunggu paman, aku menukarkan uang 5 juta rupiah pemberian nenek menjadi sekitar 368 euro. Nominal yang sangat kecil untuk hidup di sebuah negara maju. Kondisi cuaca yang dingin dan kemampuan berbahasa Belanda yang kacau semakin mempersulit keadaan. Tiap kali ada yang bertanya, aku hanya menjawab “Mijn naam is Ester lk ben uit Indonesia” yang artinya namaku Ester, aku dari Indonesia. Itupun sambil membaca tulisan di kertas kecil yang sudah kupersiapkan sebelum berangkat. Sebagian besar dari mereka merasa aneh bahkan menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali. Mereka pasti berasumsi bahwa aku tidak mendengar suara mereka secara jelas.
Hari semakin larut dan paman belum menjemputku. Aktivitas di bandara juga tutup lebih dini selama musim dingin.  Untuk menghibur diri aku berbicara sendiri sambil menaruh ponselku di telinga, mendengarkan musik dan ber-selfie ria. Beberapa bandara di Belanda menyediakan tempat peristirahatan semacam pendopo dan perlu digarisbawahi,  para penghuninya adalah orang-orang biasa yang kurang modal. Agar menghemat pengeluaran, aku memilih tinggal di pendopo gratis tadi dengan beberapa orang kulit hitam yang sudah lama di Belanda, namanya Arr, Jemile, Sothya, dan Yun. Untuk beberapa saat, aku merasa tidak sendirian disana. Namun keesokan harinya ayah Jemile menjemput mereka. Aku sempat berfikir untuk ikut dan meminta tolong kepada ayah Jemile. Tetapi faktor kekurangan uang menghambat pergerakanku.
Dua hari berlalu, aku memustuskan berhemat dengan sarapan roti goreng kismis yaitu olliebollen seharga 3,8 euro atau sekitar Rp.48.000 dengan cokelat panas seharga Rp.32.000. Lidah yang belum terbiasa dengan santapan eropa juga membuatku mengurungkan niat untuk mencicipi kuliner disana. Jatah makan siang merangkap makan malam kuhabiskan di sebuah cafe kecil tak jauh dari bandara.
Di cafe itu, aku bertemu seorang wanita bernama Gree yang bekerja sebagai Vrouw girl atau kurir pengangkut barang. Ibunya asli suku Jawa yang tinggal di Solo, pindah ke Belanda sejak tahun 1990. Setelah menceritakan keadaan yang kualami, ia mengajakku untuk tinggal basement tempat tinggalnya. Aku harus menetap dan melakoni pekerjaan sebagai kurir angkut di bandara Sciphol selama 6 hari. Setidaknya mendapat pengalaman sekaligus pekerjaan sementara.
Seperti kata orang bijak, “kita tidak akan pernah tau gula itu manis jika tidak pernah mencicipinya”. Harus #beranilebih semangat dan percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melampaui kekuatan umatnya. 
Hingga akhirnya paman mengirim email bahwa beliau sudah sembuh dan akan menjemputku ke Bandara.
***

Facebook: Evinora Exist
Twitter : @EvinoraExist

Comments